Selasa, 25 Juni 2024

Teruntuk Lelaki yang Menganggap Istrinya adalah Saingannya

 

curhat rey

Dear diary-nya Rey.

Lagi stres banget, ketika malam ini si Kakak mengatakan papinya mengirim uang untuk kebutuhan mereka. 

Iya, stres, karena yang dikirim jauh dari yang diharapkan dan dibutuhkan, dan sudah disampaikan sejak beberapa waktu yang lalu.

Saya harus bayar sewa tempat tinggal, sementara bulan lalu bahkan hanya seperlima dari kebutuhan anak-anak yang dia berikan. 

Setengah mati bertahan di bulan lalu, setengah mati kebingungan setelah tagihan demi tagihan melanda kami. Janji-janji tinggal janji yang dia ucapkan, pada akhirnya hanya berharap di janji tanggal sekarang, di mana masa terakhir batas waktu pembayaran sewa tempat tinggal.

Dan shock setelah diberitahu oleh si Kakak, karena dia cuman berkomunikasi dengan si Kakak. Dia hanya kirim bahkan untuk sewa saja nggak cukup.

Ya Allah, pengen menjerit, pengen ajak anak-anak mati saja, karena jujur saya nggak tahu lagi mau gimana. Daripada anak-anak harus menderita tidur di jalanan kan, mending nggak usah hidupšŸ˜­.

Sakit hati banget ya Allah, sakit hati dengan semua ketidak peduliannya akan anak-anak.

Selama menikah dengannya, saya nggak pernah sama sekali memberatkan dia dengan hal-hal yang bersifat keinginan diri. 

Bahkan bisa dibilang, semua kebutuhan pribadi saya, ya  saya tanggung sendiri, baik untuk kebutuhan kayak skincare, hingga pakaian dan lainnya.

Termasuk untuk ngajak anak-anak makan di luar, main di tempat jauh, semua bisa terjadi ketika saya mendapatkan uang, dari hasil kerja keras sendiri. Yang pastinya tidak mengorbankan tugas utama saya mengurus anak-anak sendiri.

Kadang ingin mengikuti teori psikolog, di mana seorang istri seharusnya melepas tanggung jawab suami, mengembalikan hal itu ke suami. Semua dilakukan agar melatih suami memenuhi fitrahnya sebagai pemimpin dan suami serta ayah, yang seharusnya bertanggung jawab atas anak dan istrinya.

Tapi maksud saya adalah tidak ingin memberatkan dia, dan melindungi anak-anak, biar nggak masuk RS karena kelaparan. Etdah, masuk RS pun kan juga tetap bayar ya.

Saya nggak tahu sih, masalahnya apa? Karena dia tak pernah melibatkan saya dalam hal keuangan. Bahkan sejak si Adik lahir, saya nggak pernah lagi tahu gajinya berapa? even tempat kerjanya saya nggak tahu.

Saya pun nggak peduli sebenarnya, saya udah sangat berdamai dengan hal tersebut. 

Sudah sejak beberapa tahun belakangan ini, saya nggak pernah lagi mempermasalahkan satu hal pun, selain uang untuk anak-anak. 

Saya bahkan tidak peduli, dia mau kasih uang ke keluarganya kek, ke wanita lain kek. Selama kebutuhan untuk anak-anaknya terpenuhi, whatever!.

Alhamdulillah, saya sudah sampai di tahap berdamai akan hal-hal ekspektasi melibatkan hati. Sekarang yang bekerja adalah logika. Di mana, meski dia sudah nggak pernah lagi terlibat dalam pertumbuhan anak-anaknya, setidaknya uangnya mencukupilah.

Saya nggak minta berlebihan, cukup penuhi papan, makan dan pendidikan anak-anak. Anak-anak aja loh, saya mah bisa cari sendiri.

Tapi, bahkan itupun nggak bisa.

Masalahnya adalah, saya bingung mau ngapain, dengan 2 anak mengggelondot di saya?


Ah saya sejujurnya tetap bingung, dan nggak tahu mau ngapain, lelah banget berkutat dengan masalah yang ini-ini saja.

Pengen banget saya bisa bebas cari uang, atau setidaknya bisa menghasilkan uang yang cukup untuk kehidupan saya dan anak-anak.

Ingin banget menikmati masa lelah karena cari uang ya Allah, bukan lelah menikmati sakit hati teramat sangat seperti ini.

Saya tahu, salah satu penyebabnya dia memang nggak kompeten dalam cari uang. Mohon maaf ini terdengar kasar, tapi sebenarnya itulah masalah utamanya.


Saya sangat mengenalnya, bagaimana kemampuannya.

Salah satu yang bikin saya mau menikah dengannya, meski saya tahu kemampuannya tidak seperti yang diinginkan adalah, karena dulu dia selalu mengalah dan mengikuti saran saya.

Setidaknya, dia melibatkan saya dalam semua masalah rumah tangga.

Karena dari situlah sumber keberhasilan rumah tangga kami.

Dia nggak bisa memenuhi kebutuhan kami sendirian, butuh saya. Bahkan dalam karir, semua orang juga mengakui, even keluarganya mengakui, saya jauh lebih kompeten darinya.

Alasannya? saya bekerja lebih dari apa yang saya dapatkan. Itulah yang menjawab, mengapa setiap kali saya kerja, meski gajinya kecil, tapi kami tidak pernah kekurangan, bebas hutang dan nggak pernah punya masalah keuangan.


Sayangnya, dia menganggap saya adalah saingannya, hal ini terungkap ketika dia menuduh saya merasa nggak mau dikalahkan olehnya.

Ya ampuuuunnnn, saya insya Allah wanita yang cerdas, wanita cerdas itu selalu berpikir rasional. Kalau dia mampu, dari dulu saya diam di rumah jadi support sistem luar biasa buat dia.

Dan akhirnya terbukti kan, saya mampu mengurus 2 anak untuk semua masalahnya, tanpa bantuannya langsung, bahkan berkali-kali tanpa komunikasi, saya sendiri yang menangis mengurus dan menyelesaikan msalah anak.

Saya tahu, sejak dulu, dia nggak bakal mampu. Dia butuh saya dalam mencari uang.

Tapi bagaimana saya bisa mencari uang, kalau karir saya tidak bisa terbentuk dengan baik?. Sejak punya anak, saya sering kena omel atasan, lantaran nggak bisa fokus bekerja, nggak bisa lagi lembur.

Alasannya, dulu anak dijaga mertua, karena mertua merasa keenakan orang jagain anak, sementara bayarannya lumayan.

Eh giliran saya bayarin ART dan anak dijaga mertua, bikin saya nggak tenang bekerja. Bolak balik nggak bisa jaga anak, karena banyak acaralah. Sampai akhirnya sakit dan akhirnya saya putuskan resign, karena nggak ada solusi juga dari papinya anak-anak.


Selama resign awal, hidup saya nggak tenang, karena yakin banget masa depan akan kacau, jika hanya berharap dari papinya. Apalagi, dia semakin hari semakin ingin hidup sesukanya.

Maunya merokok, tapi tersinggung kalau saya mau muntah dia dekati saya karena mulutnya bau rokok. Padahal syarat menikah saya dengan dia dulu ya, kalau dia nggak ngerokok. Kalau dia ngerokok, ya ampuuunnn, babay!.

Tapi, meski dikhianati, saya memilih berdamai, dan terus memahaminya. Sampai akhirnya, saya benar-benar berdamai untuk melibatkan perasaan menghadapinya.

Iyaaa, saya bahagia banget hidup berjauhan dengannya sekarang. Nggak pernah peduli dia mau ngapain di sana. Selalu kesal, kalau mendekati waktu liburnya, karena merasa jadwal kami akan kacau lagi.

Satu-satunya yang masih bikin saya sakit hati, ya karena nafkah buat anak-anak yang semakin hari semakin dikurangi tanpa penjelasan.

Saya nggak tahu uangnya dikemanain, dan nggak peduli juga, asalkan tidak memakai uang kebutuhan anak-anak.


Dan begitulah, liatlah sekarang, apa yang sudah ribuan kali saya katakan dulu terbukti. Dia tak pernah bisa sukses, apapun alasannya, itu hanyalah alasan, karena tidak ada perubahan yang dia lakukan.

Dulu dia beralasan, nggak bisa sukses karena saya selalu nggak bolehin dia bekerja lembur mulu. Padahal, dari 7 hari dia lembur, saya cuman minta 1 hari untuk menemani kami.

Sekarang? eh tepatnya sejak 5 tahun belakangan ini, dia bebas sebebasnya loh. Dia punya 24 jam bekerja, tapi mana hasilnya?

Nggak ada.

Ujung-ujungnya dia ngeluh, katanya selalu kalah sama titipan orang dalam. Oh please lah! dia aja bisa kerja karena orang dalam.

Kalau bukan orang dalam, nggak bakal bisa dia dapat kerjaan, karena tenaga kayak dia udah jutaan.

Sekarang menyesal kan? 

Andai dari dulu mau bekerja sama, andai dari dulu dia mau mendengarkan kata-kata saya, untuk sama-sama bekerja di Surabaya, atau di kota lain yang kita berdua pilih sama-sama.

Menjauh dari keluarganya, yang mana selalu memanjakannya dengan uang. Nggak banyak sih, tapi setiap kali saya minta bantuan ke ortunya agar menasihati anaknya itu. Yang ada ortunya malah menasihati saya untuk sabar, lalu ujungnya memberikan uang ke anaknya itu.

Uangnya juga uang ibunya, uang kakaknya.

Dan jujur sejak dulu saya takut banget, takut semua keluarganya bosan dengan dia yang selalu berharap dibantu uang oleh kakak-kakak atau ibunya.

Semua terjadi kan, sejak ibunya meninggal, kakak-kakaknya udah malas banget mau tau masalahnya. Makanya, ketika anak-anaknya butuh uang, ya dia cuek aja. Apalagi kan dia berjauhan dengan anaknya.

Dia nggak bakal liat anaknya kelaparan atau semacamnya. Dia juga nggak liat anaknya kesulitan berangkat sekolah atau nggak bisa ke sekolah karena belum bayar uang SPP.

Ya begitulah, saya udah capek, even memikirkannya.

Semoga Allah bayar sakit hati saya yang teramat sangat ini, dengan dititipkan-Nya ke saya aja rezeki anak-anak.

Ya Allah, mampukan saya mencukupi kehidupan anak-anak dan menyekolahkan mereka setinggi-tingginya. 

Mampukan saya untuk bisa membayar semua kebutuhan kami, dan jauhkan dari hutang ya Allah, aamiin.

    

Surabaya, PKB7, 25 Juni 2024




beauty blogger beauty blogger beauty blogger beauty blogger beauty blogger beauty blogger beauty blogger beauty blogger beauty blogger beauty blogger beauty blogger beauty blogger beauty blogger beauty blogger beauty blogger
Posted in  on Juni 25, 2024 by Blogger Surabaya - Rey |